Bagaimana Belajar Jadi Orang Tua di Era Sekarang?

Bagaimana Belajar Jadi Orang Tua di Era Sekarang?
Photo by Daniel K Cheung / Unsplash

Situasi di rumah bergerak dari everything is under control, menjadi everything is under pressure. Awalnya, semua berjalan relatif baik-baik saja. Hingga lahirlah anak kedua.

Bagaimana tidak under pressure, semua hal berpotensi jadi tantrum buat anak pertama dan kemarahan buat orang tuanya.

Harus diakui, ada satu hal yang saya lupa, atau lebih tepatnya kurang serius. Yaitu menyiapkan mental si kakak dalam menghadapi penurunan perhatian dan menyiapkan mental & tenaga untuk menyongsong respon si kakak. Alhasil dalam beberapa bulan setelah si adik lahir, kakak cenderung memberontak. Semua perkataan kami dibalas dengan argumen yang bernada bantahan. Ditambah lagi memang pada umur 4 tahun anak sering tiba-tiba marah karena frustasi, kecewa permintaanya tidak dipenuhi. Singkat kata, kami -terutama saya- kewalahan. Benar-benar lika-liku jadi orang tua.

Menjadi orang tua sayangnya tidak ada sekolahnya. Hei, mungkin bagus juga kalau ada pendidikan formalnya dan dikelola pakai dana pajak. Online saja selama 3-4 bulan supaya tidak terlalu terkendala soal biaya & *scale up-*nya gampang, toh orang tua sekarang mayoritas kelahiran 90-an sd 2000-an yang melek teknologi. Materinya bisa disusun dari sudut pandang kesehatan & tahapan perkembangan anak, psikologi anak & orang tua baru, cara atur keuangan pasca ada si kecil, membuat rumah ramah anak dst. Untuk yang pertama, materi cukup dibatasi hingga anak balita. Nanti setelah anak 6-14 tahun ada lagi kelasnya. Untuk anak remaja ada lagi kelasnya. Pemateri & penyusun kurikulumnya dari ahli-ahli terkemuka, misalnya Elly Risman, Najeela Shihab, dokter spesialis anak, psikolog, financial planner dll. Gunakan sertifikat kelulusannya sebagai syarat dapat KIA, misalnya. Maklum, di Indonesia kalau tidak dibuat syarat begitu pasti susah jalan dan tidak dianggap.

Anyway, karena semua itu belum ada, saat ini belajarnya otodidak dulu. Prasmanan. Masalahnya, kita berada di lautan hidangan yang tersaji di atas meja prasmanan tak berujung bernama internet. Ada koridor influencer sosmed, koridor video youtube, blogpost, forum, aplikasi, kelas online dan koridor lainnya. Bagaimana cara memilih menu yang berkualitas dan cocok bagi kita?

Kata Pandji Pragiwaksono di salah satu podcastnya, ada dua cara untuk memilih siapa yang pendapatnya layak kita dengar. Satu, apakah dia berkapasitas/ capable. Dua, apakah ada motif di balik pendapat-pendapatnya. Saya kira para ahli parenting pasti capable dan motifnya jauh lebih besar daripada mengejar adsense dan views sebagaimana kebanyakan kreator jaman sekarang. Di sisi yang lain, saya juga sedang berupaya untuk berkonsultasi dengan psikolog. Saya pernah dengar, sekarang di puskesmas sudah tersedia psikolog juga dan ditanggung BPJS. Bila benar, ayo manfaatkan.

Satu lagi sumber pembelajaran adalah pengalaman orang tua kita. Kita bisa menilai dan seiring bertambah dewasa, semoga kita bisa objektif. Mana pendidikan orang tua kita yang baik dan membentuk kita sekarang, dan mana yang buruk yang kita tidak ingin anak kita mengalami yang demikian. Menurut saya, wisdom/ value/ kebijaksaan lah yang utama kita rengkuh dari beliau-beliau yang sudah menjalankan peran orang tua sepanjang umur kita. Bahkan lebih kalau kita bukan sulung. Selebihnya, soal cara mungkin perlu disesuaikan sedikit di kanan-kiri dengan tantangan zaman sekarang.

Jadi orang tua memang tidak mudah, karena tujuannya juga tidak sepele: mengantar anak ke kesuksesannya. Meminjam kata-kata Adhitya Mulya di bukunya Parentโ€™s Stories: Anak yang sukses adalah mereka yang berdaya bagi diri sendiri dalam mengatasi rintangan hidupnya. Kemudian, jika situasi memungkinkan, juga berguna bagi orang lain.

Sulit, kan? Makanya belajar.

Read more