Calmness

Calmness
Photo by Ryan Stone / Unsplash

Satu hal yang saya ingin ada dalam diri saya sejak dulu adalah calmness atau ketenganan. Lebih-lebih ketika tiba-tiba ada masalah.

Saat kalut, mudah untuk marah-marah. Saya sering memilih yang mudah ini, mungkin sudah bawaan. Karena memang mudah saja untuk meluapkan emosi di saat sesuatu berjalan tidak seperti yang kita inginkan, bukan? Sebuah masalah kalau dituang kemarahan lagi dan lagi, tidak akan selesai, justru membesar. Seperti api yang disiram Pertamax Turbo, tambah berkobar-kobar. Bila mau selesai, yang dibutuhkan adalah air. Yang banyak. Yang dingin.

Dari yang saya amati, kemarahan itu punya ekor, namanya penyesalan. Hari-hari ini ketika anak saya ngeyel, saya berusaha dengan sekuat tenaga untuk tidak marah. Kalau pun marah, saya ingin marah yang by design secara sadar, dalam rangka lebih menghujamkan nasihat. Bukan marah karena melepaskan rubah ekor sembilan dalam diri saya. Saya berkali-kali bilang ke anak saya saat menasihatinya, ”Ayah itu bisa marah lho, tapi ayah nggak pengen.” Saya bilang itu sebetulnya karena ada perasaan takut nanti bakal menyesal.

Saya adalah orang yang perasa, setidaknya menurut saya sendiri. Mungkin cukup perasa. Saya mudah merasa kasihan dan agaknya mudah menangkap perasaan orang terhadap sesuatu. Di sisi lain, saya juga paham apa saja yang bisa menusuk hati seseorang. Saat saya menuruti emosi untuk membalas dendam amarah, saya tahu betul kata-kata yang keluar dari mulut saya pasti akan menyakitkan. Saat ini, bila dada sudah sesak penuh dengan hawa panas, saya sering memilih diam & menyingkir saja. Supaya tidak melukai, supaya tidak menyesal.

Saat tenang, kita lebih mudah berpikir jernih. Fokus kita akan berpindah dari menyalah-nyalahkan menjadi mencari solusi. Dengan begitu, kemungkinan besar masalah akan teratasi.

Tarik nafas panjang. Tenang. Tentu saja, ini lebih mudah diucapkan daripada dilakukan. Tapi bisa.

Read more