Dilema Ayah Milenial
Sejauh yang saya amati, ayah-ayah milenial saat ini ingin punya hubungan yang lebih dekat dengan anak-anaknya. Mungkin karena dulu orang tuanya tidak begitu kepadanya dan itu tidak enak. Mungkin juga karena makin terbukanya informasi dan studi, bahwa kealpaan sosok ayah punya pengaruh besar pada tumbuh kembang anak. Contoh paling dekat dan masih hangat, anda tentu masih ingat tentang anak pejabat yang menghajar anak remaja lainnya hingga babak belur. Apakah ayahnya mengajarkan kebengisan macam itu? Saya rasa tidak. Tapi kalau ayahnya sering ngobrol, mencontohkan perilaku terpuji, dan menanamkan nilai-nilai kebaikan padanya, apa iya anaknya bisa sampai setega itu?
Kembali ke ayah milenial. Lebih dekat dengan anak, seringnya diwujudkan dengan selalu bersikap lembut, tidak keras bicara, permisif dan lebih mudah maklum atas tingkah polah buah hati. Dengan harapan, anak akan merasa nyaman kemudian dekat dengan ayahnya. Setidaknya saya pun demikian.
Tapi di sisi lain, ada kekhawatiran apakah anak akan jadi manja. Atau istilah orang jawa, aleman. Kadang tanda-tandanya muncul. Lantas, mana yang benar? Apakah lemah lembut adalah sikap yang terbaik sehingga anak nyaman dengan kita dan mau mendengar nasihat-nasihat kita? Atau justru bersikap keras adalah cara yang lebih ampuh supaya mereka disiplin dan taat aturan?
Dilematis.
Namun, hipotesa saya saat ini: kelembutan dan ketegasan ini semacam dua 'senjata' yang bisa dipakai bergantian. Tergantung situasi dan kebutuhan. Yang terpenting, kita perlu pintar-pintar memilih senjata yang tepat di saat yang tepat.