Krisis Iklim Sudah Dekat

Krisis Iklim Sudah Dekat
Photo by Markus Spiske / Unsplash

Ibu bilang mau pasang AC, sebab beliau sudah tidak kuat dengan panasnya Jogja. Saya setengah terkejut. Tapi setengahnya maklum.

Sejak dulu, baik keluarga saya maupun istri tidak pernah berniat pasang AC. Mentok-mentok hanya kipas. Bahkan di hotel pun, rumusnya begini: AC dimatikan, selimut dibuka. Maka saya terkejut ketika sekarang ibu akhirnya keluar dari pakemnya. Ibarat sudah terbiasa makan gudeg Yu Djum, lalu seketika ingin gudeg Mercon bu Tinah karena sudah tidak kuat dengan manis yang makin terlalu.

Separuhnya lagi saya maklum. Memang, jogja pwuanase pwuol! Ternyata bukan hanya di Jogja saja, tapi di seluruh dunia. Tahun 2024 ini bisa jadi lebih panas dari tahun 2024 karena diperparah El Nino. Sementara, 2023 adalah tahun terpanas sepanjang sejarah, memecahkan rekor sebelumnya di tahun 2016. Lebih lanjut, studi di Singapura memprediksi jumlah hari panas (suhu > 35 C) akan bertambah dari sekitar 21 hari per tahun pada saat ini, menjadi 125 hari pada 2100 nanti. Bahkan menjadi 351 hari bila kita tidak menurunkan jumlah emisi kita. Kita suka rekor tapi tentu tidak untuk yang satu ini.

Gelombang panas ini utamanya akibat akumulasi gas rumah kaca yang dihasilkan dari aktifitas manusia. Gas rumah kaca (Green House Gasses - GHG) yang pokok adalah karbon dioksida, metana, dan nitrous oksida. Pada siang hari, sinar matahari menembus atmosfer dan menghangatkan permukaan bumi kita. Saat malam hari, permukaan bumi mendingin dan melepaskan panas kembali ke udara. Namun sebagian panasnya terperangkap oleh gas rumah kaca tadi di atmosfer sehingga bumi makin memanas.

Di skala yang lebih luas dari rumah, sayangnya gelombang panas ini tidak bisa diatasi dengan AC. Banyak dari masyarakat harus kerja di luar, misalnya buruh bangunan, OJOL, dan kurir paket. Kalau anda pikir gelombang panas cuma soal gerah saja, faktanya tidak demikian. Ia saling terkait dengan aspek iklim lainnya. Gelombang panas bisa menaikkan permukaan air laut yang menenggelamkan pesisir, memperpanjang kekeringan kemudian menganggu hasil panen, memperparah kebakaran hutan & lahan, hingga memicu sakit bahkan kematian.

Mari kita berhenti sejak & membayangkan. Masih bisakah kita hidup nyaman di kondisi semacam itu? Masih bisakah kita hidup?

Oke. Saya saat ini berumur 30-an. Hitungan kasar, saya tidak akan hidup sampai di 2100. Tapi bagaimana anak saya, cucu saya? Saya lihat mereka sedang lucu-lucunya di usia balita ini. Saya tidak tega kalau saat dewasa nanti mereka harus mengalami berbagai bencana iklim. Kadang kebanjiran, setiap hari menghirup udara kotor karena asap kebakaran hutan, beli beras mahal imbas gagal panen.

Sekarang waktunya pertanyaan 1 juta dolar: kita bisa berbuat apa?

Saya juga masih belajar soal ini. Yang jelas, efek krisis iklim harusnya bisa diminimalkan kalau kita tahu cara-caranya dan sepakat melakukannya bersama mulai sekarang. Bisa. Sayangnya kita perlu orang sedunia dan dari berbagai jenis profesi. Setidaknya mayoritas. Lebih-lebih orang-orang berpengaruh yang menggerakkan bisnis atau menetapkan kebijakan di pemerintahan.

Maka dengan memegang pinsip al โ€˜ilmu qoblal qouli wal โ€˜amal atau ilmu itu mendahului perkataan dan perbuatan, saya niatkan mendokumentasikan perjalanan belajar saya soal krisis iklim di rubrik ini. Alasan pertama adalah supaya saya tidak mudah lupa. Saya tipe orang yang kalau tidak mengajarkan kembali jadi lupa. Kedua, bila ini dibaca lebih banyak orang, mudah-mudahan kesadaran soal krisis iklim bisa muncul. Sehingga bila saatnya dibutuhkan gotong royong soal ini, sudah lebih banyak orang yang tahu dan siap menyambut.

Semoga dengan background saya di chemical engineering, karir saya di water consultant & nyambi jadi sales dalam 1 dekade terakhir, dapat membantu saya memahami, lalu menyederhanakan dan kemudian menjual kewaspadaan terhadap krisis iklim ini kepada anda para pembaca.

Terakhir, bumi kita luas dan tidak ada AC sebesar itu. Bumi kita cuma satu dan ya satu ini. Kalau nanti Elon Musk bisa pindahkan orang ke Mars, cuma orang kaya yang mampu pindah. Orang biasa seperti kita ya tetap di bumi. Jadi, mari kita rawat bersama. Untuk kita saat ini. Dan untuk anak cucu nanti.

Read more