Membaca Memantik Ide
Sudah 24 hari saya menulis tiap hari dan menerbitkannya di sini. Konsistensi yang cukup lumayan untuk seorang pemula, mengingat saat ini yang penting adalah get going dulu. Bukannya kualitas tidak dipikirkan sama sekali, tapi untuk sekarang, kuantitas lebih utama.
Namun, jika anda membaca dua tulisan terakhir dan mungkin beberapa yang lainnya, anda akan mendapat kesan bahwa beberapa diantaranya diterbitkan hanya demi konsistensi semata. Supaya tidak bolong. Alhasil, kualitasnya jauh di bawah rata-rata tulisan lainnya. Saya akui memang demikian.
Mengapa begitu? Salah satunya adalah pada dua hari belakangan saya tidak ada ide hingga menjelang tengah malam. Sehingga tulisan yang dihasilkan menjadi apa adanya. Ah, daripada tidak ada, pikir saya.
Pagi tadi, saat sarapan, saya membaca materi kelas Menulis sebagai Meditasi Sehari-Hari dari AS Laksana. Kelas ini unik karena materinya dikirim satu persatu lewat email setiap hari selama 30 hari. Sesaat setelah membacanya, seketika saya langsung terbersit ide untuk membuat tulisan ini. Langsung saya catat di handphone seperti yang sudah saya tuliskan sebelumnya.
Saya jadi sadar, ternyata membaca adalah salah satu cara paling mudah untuk memantik ide di kepala. Setidaknya bagi saya. Hanya saja, tidak semua bacaan punya daya pantik yang sama. Membaca berita online misalnya. Kebanyakan dari kita membacanya sepintas kemudian berlalu. Bahkan banyak yang hanya melihat judulnya saja. Bacaan seperti ini jarang memunculkan ide menulis. Belum lagi media sosial. Lewat sedetik saja kemudian langsung terbang. Mirip kantong plastik terhempas laju mobil di jalan tol.
Kita bisa berargumen, kenapa memilih membaca? Toh, ide bisa diperoleh dari mana saja, kan? Benar demikian. Tapi membaca punya posisi tawar yang khusus dan pengaruh yang besar. Apa yang kita baca, bagaimana kita membaca dan mengapa kita membaca, mengubah cara pikir kita. Yang pada akhirnya, menentukan kualitas ide-ide yang terpantik di kepala.
Materi kelas yang saya baca pagi tadi adalah soal belajar menghubung-hubungkan benda-benda untuk melatih analogi. Sebenarnya itu tidak ada sangkut-pautnya dengan inti tulisan ini. Barangkali begitulah pikiran kita bekerja. Satu hal akan memantik hal lainnya meski tak langsung berkaitan.
Sebagai penutup, mari kita simak apa yang dikatakan Mayanne Wolf, profesor dan penggiat literasi, dalam bukunya Reader, Come Home: The Reading Brain in a Digital World.
What we read, how we read, and why we read change how we think, changes that are continuing now at a faster pace. In a span of only six millennia reading became the transformative catalyst for intellectual development within individuals and within literate cultures. The quality of our reading is not only an index of the quality of our thought, it is the cerebral evolution of our species. There is much at stake in the development of the reading brain and in the quickening changes that no characterize its current, evolving iterations.
Kalau anda sudah membaca apa hari ini? Muncul ide?