Memberi Kesulitan untuk Anak
Sebagai orang tua, kita tentu ingin memberikan yang terbaik untuk anak-anak kita. Mainan, baju, sekolah, pendidikan agama, apapun itu semampu kita. Dengan itu, kita berharap dapat membantu mereka tumbuh jadi manusia yang hebat dan kuat. Ya fisik, mental, dan pikirannya. Supaya kelak mereka dapat bermanfaat bagi dirinya dan syukur-syukur sekitarnya. Atau seminimalnya, tidak menyusahkan orang lain.
Celakanya, tampaknya tidak semudah itu kisanak.
Pernah dengar ungkapan ini?
Hard times create strong men. Strong men create good times Good times create weak men. Weak men create hard times
Kalau dipikir-pikir benar juga. Siklusnya berputar terus seperti itu. Dalam konteks mendidik anak tadi, jangan-jangan, gegara kita beri semua yang terbaik untuk memudahkan anak kita, justru membuatnya jadi lemah. Manja. Cengeng. Tidak punya daya juang, etos kerja dan persistensi.
Kita pasti sudah familiar dengan kisah-kisah orang-orang yang awalnya susah, kemudian karena kegigihannya berbuah kesuksesan. Susah itulah yang membentuknya jadi orang sukses. Pertanyaannya: maukah kita memberi kesulitan pada anak kita? Tega kah?
Kalau imbal baliknya adalah kemandirian dan sukaes mereka di masa depan, harusnya mudah kita jawab.
Kesulitan yang kita beri pada anak tidak perlu sampai membuat mereka nelangsa. Bisa dimulai dengan tidak cepat-cepat menawarkan bantuan saat mereka menemui kesulitannya. Biarkan mereka berpikir, berusaha, berjuang memecahkan masalahnya sendiri. Cara lainnya, fasilitas bisa dibatasi seperlunya. Selain melatih mereka ‘bertahan dalam keterbatasan’, juga agar menumbuhkan empati pada sesama.
Mungkin memberi yang terbaik itu tidak selalu berupa kemudahan. Ada kalanya kesulitan justru lebih dibutuhkan. Konon, tanpa kesulitan, life will lack of texture and hence, lack of meaning.