Mengapa Iklan Ada Terus, Meski Produk Sudah Laku?
Dulu saya sering bertanya, mengapa barang-barang yang sudah banyak dipakai orang (sabun, motor, krim wajah, hingga rokok) masih menebar iklan. Pemahaman saya waktu itu iklan hanya untuk mempromosikan produk baru. Lalu apa gunanya pasang iklan untuk produk yang sudah (sangat) laku & tidak baru-baru amat ya?
Dari sudut pandang saya, kira-kira ini jawabannya.
Setengah dari pekerjaan saya adalah berjualan, menjadi salesman. Menjadi salesman di sebuah perusahaan tentu diberi target angka tertentu. Dan karena perusahaan ini harus terus bertumbuh, maka target penjualan juga terus bertumbuh. Misal bertumbuh 5%, 10%, 15% dst dibandingkan periode sebelumnya (biasanya tahun sebelumnya). Sehingga totalnya menjadi 105%, 110%, 115% dst.
Cara mudah untuk growing adalah memastikan customer yang 100% dari tahun sebelumnya itu beli lagi, kemudian mencari fresh business sebesar 5%, 10%, 15% tsb.
Pertanyaannya: bagaimana cara kita memastikan yang 100% ini beli lagi?
Sebelum kesana, setidaknya ada 2 jenis product, yg memerlukan after sales service dan tidak. Untuk yg memerlukan service maka service ini juga jadi cara mempertahankan customer. Hubungan akan tetap terjalin baik, customer puas, alhasil beli lagi seperti tahun lalu. Syukur-syukur malah lebih banyak.
Nha, untuk product yang tak punya after sales service, iklan jadi salah satu cara untuk menjamin ini semua kejadian lagi 100% seperti sebelumnya. Lalu, bagaimana cara kerjanya?
Salah satunya kita bisa lihat di dalam buku The Righteous Mind karya Jonathan Haidt, disebutkan bahwa di 1980 seorang psikolog sosial bernama Robert Zajonc melakukan sebuah experimen. Dia meminta orang-orang peserta experimennya untuk menilai seberapa suka mereka terhadap hal-hal yang aneh (yang sewajarnya tidak bisa dinilai). Contohnya seperti: Piktogram Jepang, kata-kata yang dibuat-buat sendiri dalam bahasa yang juga dibuat-buat, hingga bentuk-bentuk geometri tertentu. Tentu aneh ya meminta orang untuk menilai seberapa suka mereka terhadap hal-hal asing & bentuk-bentuk aneh yang tidak ada artinya. Tapi ternyata, orang-orang tetap bisa menilai mana yang mereka paling suka karena apapun yang mereka lihat punya sedikit trigger ke otak mereka untuk suka/ tidak suka. Dan lebih pentingnya lagi, Zajonc bisa bikin orang-orang lebih menyukai gambar atau kata tertentu dengan menampilkannya lebih sering dari yang lainnya. Otak kita ternyata melabeli hal yang familiar sebagai hal yang baik. Zajonc menyebutnya "mere exposure effect". Experimen inilah, dalam buku tsb disebutkan, yang jadi dasar bagi dunia adverstisement.
Kembali ke pertanyaan: bagaimana yang 100% beli lagi. Berbekal hasil experiment diatas, saya kira semua produsen jadi berlomba menyuguhkan produk mereka sesering mungkin ke konsumen dan calon konsumen, sehingga produk tersebut terasa familiar di mata konsumen & dipersepsikan baik. Nanti bila ada kebutuhan terhadap jenis produk tsb, pilihan jatuh ke yang paling familiar. Hal diatas, jika ditambah fakta yang memang produknya bagus, tentu orang akan beli lagi & lagi.
Begitu kurang lebih othak-athik-gathuk kali ini.