Menghindari Penyesalan
Saat kuliah dulu, saya pernah mendaftar conference di luar negeri. Diterima, tapi tidak jadi berangkat. Ini ceritanya.
Untuk sampai di titik di mana paper saya diterima, perlu langkah-langkah ini. Pertama, saya inisiatif meminta seorang dosen untuk membimbing penelitian dengan tujuan akhir bisa publish paper internasional. Rencana saya, ini merupakan jalan untuk bisa lanjut sekolah S2 waktu itu, yaitu via jalur riset. Sebab jalan lainnya, yakni IPK, sudah kandas sejak semester awal. Perlu diingat bahwa penelitian ini di luar penelitian wajib yang ada di kurikulum. Ini murni inisiatif di luar SKS. Berikutnya ,saya membentuk tim riset. Bahkan hingga lintas fakultas. Kemudian kami bersama-sama menjalankan riset. Lalu menulis hasilnya & mengirimkannya ke conference tadi. Syukur diterima.
Kedua, langkah finansial. Saya tidak punya uang untuk mendaftar conference itu. Apalagi untuk akomodasi keberangkatan. Totalnya tentu berjuta-juta. Akhirnya, saya memberanikan diri cari pinjaman dari teman-teman yang sudah lulus dan bekerja di Oil & Gas company. Mereka gajinya sudah double digit, maka kemungkinan mau meminjami saya lebih besar. Saya kubur rasa malu dalam-dalam & menelpon mereka satu-satu. Saya juga ngutang ke dosen saya, sebab bayarnya harus pakai credit card. Mana mungkin saya punya credit card saat itu.
Singkatnya, proses beberapa bulan itu selesai. Saya sudah push sementok yang saya bisa.
Hingga pada akhirnya, visa saya tidak turun. Saya tidak jadi berangkat.
Apakah saya menyesal?
Rasa-rasanya tidak. Karena saya sudah mencoba mencari jalan sampai sekuat yang saya bisa.
Tidak ada lagi ruang untuk berandai-andai, seperti:
“Kalau saja waktu itu aku melakukan XXX, mungkin bisa jadi YYY.”
“Ah, coba waktu itu aku berani minta ABC, bisa saja aku tidak seperti sekarang.”
Aman. Tidak ada penyesalan
Kesimpulannya, resep untuk menghindari penyesalan adalah dengan mengusahakan sementok mungkin yang bisa dilakukan. Kemudian hasilnya terserah saja.
Eh, bukankah itu disebut tawakal?