Alasan Menulis dan Mudik
Sudah pukul 21.30 dan saya belum juga menyelesaikan tulisan untuk hari ini. Ada godaan untuk "Ah sudahlah, besok saja dirapel langsung dua tulisan. Toh siapa yang tahu."
Demi latihan disiplin dan karena masih dalam tahapan get going, godaan tersebut harus saya tendang jauh-jauh. Yang namanya latihan harus dijalankan. Bagaimanapun kondisinya, saya sudah berniat satu hari, satu tulisan.
Konon orang jawa pernah berkata, "Sak jembar-jembare alas, isih jembar alasan." Atau "Seluas-luasnya alas belantara, masih lebih luas alasan." Yang intinya kurang lebih: kalau mau dicari-cari, alasan mah pasti ada saja.
Dalam perkara menulis di hari ini pun, ada saja alasannya untuk menunda. Begini ceritanya.
Sebenarnya, hampir sebagian besar waktu saya dan keluarga hari ini dihabiskan di perjalanan. Keluarga kecil kami sedang mudik. Perjalanan kami tidak lah jauh, dimulai dari Jogja menuju ke barat, ke Banyumas. Tujuannya ke rumah eyang yang masih sugeng. Alhamdulillah.
Perjalanan terbilang lancar. Tidak ada kemacetan yang berarti di sepanjang jalan. Beruntung Jalan Daendels sudah halus dan masih lumayan lengang. Sehingga kendaraan dapat melaju cepat tanpa hambatan.
Mudik kali ini pun rasanya menyenangkan. Putra kami hampir selalu tertawa sepanjang jalan, sisanya tidur. Saya dan istri bergantian pegang kemudi supaya bisa bertukar waktu istirahat dan tidak ngantuk.
Sepanjang pandangan, terlihat posko-posko mudik sudah terbangun. Polisi, tentara bahkan pramuka ikut berjaga. Rest area non permanen juga bermunculan.
Bagi saya pribadi, mudik jadi aktifitas yang baru saya alami selepas lulus kuliah. Karena sejak kecil saya tak pernah merantau ke luar kota. Baru setelah bekerja, tugas kantor mengharuskan saya merantau. Tidak hanya ke luar kota, melainkan langsung ke luar pulau. Saya masih ingat betul reaksi saya saat pertama kali mendengar bakal ditempatkan di Sulawesi. Rasanya nano-nano. Tapi karena sudah mantap niat bekerja dan direstui orang tua, berangkatlah saya.
Beruntungnya, meski saya ditugaskan di sulawesi, saya akhirnya diizinkan tetap tinggal di Jawa, tepatnya di Surabaya. Wara-wiri penerbangan Surabaya-Makassar atau Manado atau Palu, jadi rutinitas. Jadi pengalaman mudik saya pertama kali adalah dari Surabaya ke Jogja. Saat itu belum ada jalan tol. Perjalanan ditempuh sekitar 9 sampai 10 jam naik mobil. Sekarang, hanya perlu 5 jam dengan lewat tol. Hemat waktu. Sudah mirip dengan naik kereta api.
Hari ini, bersama berjuta-juta orang lainnya, saya mudik lagi tapi menjauhi kota asal. Kesannya? Menyenangkan dan membahagiakan. Apalagi setelah sampai tujuan, anak saya bisa bertemu eyang buyutnya. Interaksi lintas dua generasi ini sungguh menghangatkan hati.
Bagi anda yang juga mudik, semoga lancar dan selamat sampai tujuan. Selamat berkumpul dengan keluarga. Tidak perlu pusing-pusing memikirkan jawaban dari "Kapan nikah?" atau "Kapan nambah momongan?" Balas saja dengan senyuman dan mohonkan doa. Anggap saja itu pernak-pernik mudik lebaran, yang cuma ada satu tahun sekali.
Eh, ternyata sudah jadi satu tulisan. Ha!