Pandangan setelah 30 Hari Menulis

Pandangan setelah 30 Hari Menulis
Photo by Nick Morrison / Unsplash

Sudah 30 hari saya menulis tiap hari di sini. Begini pandangan saya mengenai aktifitas ini.

Menulis adalah selokan Mataram. Ia mengalirkan ide apapun. Kadang jernih, seringkali keruh. Kadang agak surut, kapan hari hampir banjir. Kadang berisi sampah, bahkan juga tai kerbau. Tapi asalkan terus menulis, maka ia terus mengaliri. Ia menghidupi, ia berguna. Entah untuk mengairi sawah, cuci truk, atau wahana renang anak-anak desa. Kisanak, apalagi yang kau cari selain merasa berguna?

Menulis adalah kantong plastik gorengan. Ia membungkus bakwan gagasan agar tak berjatuhan. Menjaganya tetap awet dan tidak menjadi basi. Faktanya, kantong plastik baru terurai ribuan tahun, bukan? Tak heran jika orang bilang, bahwa menulis adalah kerja untuk keabadian.

Menulis adalah berjudi kluduk di pinggiran orkes dangdut. Kalau beruntung hasilnya bagus, kadang kala tidak. Yang penting perlu berani mememulai dan terus mencoba. Fokus. Tak perlu menghiraukan suara orang lain yang cuma numpang joget di depan panggung. Kalau sudah pernah berhasil dapat tulisan bagus, pasti ketagihan. Judi dengan uang tentu dilarang agama, tapi menulis harusnya tidak, kan? Candu yang positif.

Menulis adalah kandang sapi. Isinya cuma dua: sapi dan kotorannya. Hasilnya? Daging yang laku dijual untuk dibikin steak lezat dan kotoran sapi yang diolah jadi pupuk organik. Meski bedanya seperti sumur dan langit, keduanya bermanfaat buat pak tani. Menulis pun begitu. Hasil tulisan yang baik atau yang buruk, keduanya tetap berguna untuk perkembangan si penulis.

Menulis adalah tanaman padi. Supaya bisa panen raya, ia harus tahan dari wereng dan eratan gigi tikus. Ganguan-gangguan wajib dihindari supaya bulirnya utuh dan kelak jadi nasi yang pulen. Menulis perlu proteksi dari hama. Candu sosmed adalah salah satunya.

Demikian. Terimakasih sudah menyimak saya berlatih membuat analogi.

Read more