Pep si Perfeksionis
Kalau saya jadi Pep Guardiola, saya pasti menangis hari ini. Lega.
Saya menulis ini tepat setelah Manchester City resmi memperoleh trofi keduanya musim ini. Bermain melawan rival sekota, Manchester United, di final piala FA, city menang 2-1. Kata komentator, City unggul technically & tactically. Dengan kata lain: mendominasi.
Kini tinggal 1 laga lagi supaya city bisa meraih treble winner musim ini, yaitu final Liga Champions melawan Inter Milan satu pekan lagi.
Konon, Pep adalah orang yang super duper perfeksionis. Ia menuntut kesempurnaan dari para pemainnya dan lebih-lebih pada dirinya sendiri. Kevin de Bruyne, salah satu pemain andalan Pep, pernah bilang:
Pep and I share a similar mentality. To be fair, he’s even more intense about football than I am. He’s so, so stressed — all the time. However much mental stress we are under as players, I think he is under twice as much. Because he is not just interested in winning. He wants perfection
Most of the time, football is about negativity and fear. But with Pep, it’s about extreme positivity. He sets goals that are so high that they’re almost impossible to reach. He is a tactical master, yes. There’s no doubt about this. But what people on the outside don’t see is the pressure he puts on himself to try to achieve perfection.
Kayaknya pusing betul jadi Pep. Segalanya harus sempurna supaya jadi juara. Tapi saya bukan Pep. Biarlah Pep menjadi Pep, saya menjadi saya. Baginya yang penting adalah gelar juara. Bagi saya?