Satu Buku Dua Kali Baca
Saya sedang membaca ulang Outliers dari Malcolm Gladwell. Sebelumnya, saya juga baca ulang Bumi Manusia dari Pramoedya, Filosofi Kopi dari Dee, biografi Steve Jobs karya Walter Isaacson, dan Buya Hamka Bicara tentang Perempuan karya Buya Hamka.
Tidak ada buku baru direntetan itu. Hanya buku lawas yang dibaca ulang.
Membaca ulang sebuah buku memang baru pernah saya lakukan sekarang. Kenapa baru sekarang? Alasannya sepele, yaitu belum yakin beli buku baru lagi.
Konon, salah satu penyakit seseorang yang mengaku-ngaku sebagai pembaca buku adalah lebih suka beli bukunya dibanding membacanya. Kegirangannya di toko buku melihat jajaran buku-buku baru langsung menggenjot dopaminnya ke langit-langit. Lalu, satu-dua buku ikut serta ke meja kasir. Sampai di rumah, satu buku dibuka, dibaca lalu ditutup di halaman 25. Kapan dibuka dan dibaca lagi? Jawabannya persis museum yang habis kebakaran: tutup hingga waktu yang belum ditentukan.
Itulah yang membuat saya belum yakin beli buku baru. Ada rasa mubazir. Sudah dibeli, tak rampung dibaca. Meski kadang ada juga buku yang memang jelek dan tak layak, yang karena didorong khawatir mubazir tadi tetap dibaca juga. Menghabiskan lembar demi lembar tidak beda rasanya dengan makan steak wagyu overcooked sekeras sandal.
Akhirnya, membaca ulang jadi solusi. Dan solusi yang cukup oke sepertinya. Saya jadi paham yang dulu kurang paham. Jadi ingat yang dulu lupa. Serta jadi lebih masuk ke otak dan hati karena kali ini ada konteksnya di kehidupan. Misalnya, membaca ulang Buya Hamka Bicara tentang Perempuan terasa lebih dalam, karena insyaAllah -bila tidak ada halangan- saya akan menyambut kelahiran putri tercinta beberapa waktu kedepan. Sebuah persiapan yang dibutuhkan untuk memberi perlakuan terbaik padanya sejak dari buaian, sebagaimana Islam menuntunkan.
Ayo, baca ulang bukumu. Teori saya, 1 buku (bagus) memang berhak 2 kali dibaca. Setidaknya.